26.3.11

ABSTRAK
Di dalam pola-pola keseharian itu,terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari adat istiadat yang berlaku.Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan.Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya.Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu.

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat.Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Kata kunci: nilai-nilai budaya, pedoman etika, kebudayaan



A. PENDAHULUAN

Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab beragam tantangan dari ombak besar bernama globalisasi, yakni tantangan untuk terus berlari kencang dari ketertinggalan di pelbagai bidang, yang senyatanya tidak dapat dielakkan lagi.Globalisasi ini mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Manifestasi tantangan-tantangan tersebut antara lain beru¬pa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lin¬tas negara di seluruh dunia, di mana telah melepaskan prinsip-prinsip trading kuno yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional, berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misal¬nya), memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan lokal sebagaimana disinggung Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity and Global Process.

Contoh-contoh akibat globalisasi di atas menunjukkan bahwa, dalam realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di dunia.Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit,salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern.Keadaan masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada situasi yang akan menggiring kita, sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang dunia (Al Mudra, 2007a dan 2008a).

Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno, dan semacamnya.Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan budaya Barat.Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan nenek-moyang) oleh generasi masa kini.Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jatidiri).

Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat, mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermar¬tabat.Sebab, hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain. Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (Al Mudra, 2007b). Penting untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak pengaruh budaya luar.Produk budaya asing yang mendorong kepada perbaikan hidup dan kemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak.Hal ini berpegang pada prinsip “al muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah”, yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik (Ibid, 2007b).

Sebelum melangkah pada bahasan lebih lanjut, tentu dibutuhkan pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan: (1) “budaya” dan “warisan budaya”, (2)Konsep multikulturalisme dan persebarannya, (3) Pemahaman tentang multikulturalisme, (4) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

B. PEMBAHASAN

1. Budaya dan Warisan Budaya
“Hanya manusia yang memiliki kebudayaan,” begitu kira-kira teori Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man (1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005).Disebutkan olehnya bahwa kebudayaan atau budaya merupakan ciri penting (khas) dari manusia,yang membedakan manusia dengan binatang.Mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau makhluk lainnya tidak?Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi simbol.Sebab itu,hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap sesuatu.Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol untuk berkomunikasi dengan sesa¬manya (Ahimsa-Putra, 2004: 29).Sementara itu, apa yang dimaksud dengan simbol?Definisi konsep simbol atau lambang ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana makna dari suatu simbol itu mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain.Wujud lambang-lambang ini bisa berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya (Ibid).

Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pe¬maknaan terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini meru¬pakan sebuah lambang hasil kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai: seperangkat atau kese¬luruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehi¬dupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat bahwa setiap manusia beserta komu¬nitasnya memiliki perangkat simbol (baca: kebuda¬yaan) dan pro¬ses simbolisasinya (proses berkembangnya kebuda¬yaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89).Hal inilah yang kemudian melahirkan diversitas budaya dalam kehidupan manusia.

Lebih lanjut,perlu diketahui bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat.Pertama adalah gagas¬an, ide, atau sistem nilai.Karena gagasan ini beroperasi pada tataran kognitif, maka agak sulit mengidentifikasinya. Selain itu, dapat diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan yang satu dengan lainnya.Wujud konkret dari simbol-simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istilah adat-istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan.Selain adat-istiadat, elemen lainnya ialah budaya material.Budaya material (material culture) atau artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan yang paling konkret (empirik).

Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai peninggalan budaya.Pertama, benda-benda fisik atau material culture.Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi manusia, mulai dari benda-benda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket, keris, sampai Candi Borobudur, misalnya).Kemudian, wujud kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat-istiadat sebuah kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian,seperti pola makan, pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual Ngaben di masyarakat Bali.

Di dalam pola-pola keseharian itu,terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari adat istiadat yang berlaku.Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan.Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya.Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu.

Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan.Barangkali, muncul pertanyaan dalam benak kita mengapa lingkungan dapat dikategorikan sebagai warisan budaya?Lantas, lingkungan seperti apa yang termasuk peninggalan budaya?Sebelum masuk pada pemaparan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dahulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini.

Ahimsa-Putra (2004: 38) menjelaskan bahwa lingkung¬an atau environment secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal-usulnya.Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:

1. Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam;
2. Lingkungan sosial. Lingkungan sosial meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai aktivitas individu; dan
3. Lingkungan budaya. Lingkungan ini mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan,norma-norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Sedangkan, lingkungan yang dilihat dari asal-usulnya berupa: (1) lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.

Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya oleh karena lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu sendiri.Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakat agraris, seperti masyarakat petani salak di Yogya¬karta atau masyarakat petani kopi di kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak dengan jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus kehidupannya (lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya),yakni pegunungan atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah pola pikir masyarakatnya atau cara pandang mereka terha¬dap hidupnya. Pola pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu berlainan.Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan (sistem simbol) masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi cara mereka memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan lingkungannya, dengan hidupnya.Inilah yang dinamakan kearifan lokal, sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat penghayatan manusia atas lingkungannya.Penghayatan terhadap lingkungan inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang khas pula, yakni sistem nilai, adat-istiadat, dan artefak-artefak budaya (periksa Ahimsa-Putra, 2008: 11—12).

Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya, sehingga ia harus dilindungi dan dilestarikan.

2. Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia,tetapi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen.Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an.Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997).Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an.Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

3. Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan.Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put).Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat.Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya.Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya.Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus,misalnya pembahasan mengenai “Akbar Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002).

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks.Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu?Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu?Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut.Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi.Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu.

Kedua,apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu?Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural.Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini.Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya.Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing.Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif.Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

4. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali.Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia.Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan.Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen.Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya.Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat,sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas,sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia.Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Perilaku masyarakat akibat perubahan sosial dapat berupa pemberontakan, aksi pastes, demonstrasi, data tindakan kriminal. Berikut beberapa contoh perubahan sosial budaya di Indonesia:
a. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) terjadi ketika sebagian kecil kelompok masyarakat Ambon yang dipimpin oleh Christian Robert Steven Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Titnur (NIT) tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke negara kesatuan setelah Konfe-rensi Meja Bandar (KMB).Pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang merasa tidak pasti tentang status mereka setelah KMB. Pemberontakan ini berlangsung sekitar 4 balms dan berakhir setelah pemimpin mereka,dr. Soumokil, ditangkap.Sebagian dari yang berhasil lolos dari kejaran tentara RI melarikan diri ke Belanda data bergabung dengan mereka yang telah bermigrasi lebih awal serta membentuk RMS di pengasingan.Di sini jelas bahwa pemberontakan yang mereka lakukan karena adanya perubahan sosial-budaya khususnya status mereka anggota KNIL setelah KMB.
b. Pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh
Pemberontakan ini merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk negara Indonesia berazaskan hukum Islam.Pemberontakan di daerah-daerah tersebut pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang tidak memberikan penghargaan yang pastas untuk mereka yang telah berjuang membela dan mempertahankan RI.Bentuk ketidakpuasan itu tentu mempunyai latar belakang yang berbeda.Yang pasti pars pemimpin gerakan merasa tidak puas karena adanya perubahan sosial budaya.Di Aceh misalnya Daud Beureh tidak puas akan kedudukannya yang semula sebagai gubemur Daerah istimewa Aceh menjadi salah satu karesidenan Sumatra utara bukan lagi provinsi.Pemerintah RI setelah kembali menjadi negara kesatuan melakukan penyederhanaan administrasi, sehingga status Daud Beureh tidak lagi menjadi gubernur Aceh melainkan hanya seorang residen.
c. Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di Sumatra Barat dan Permesta di Sulawesi Utara.Kedua pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi tersentralisir yang dikeluarkan pemerintah pusat yang semula otonomi.Sebab dalam kenyataannya hasil yang diperoleh dari daerah ke pusat tidak dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduk daerah mereka sendiri.Mereka menuntut kembali adanya desentralisasi ekonomi khususnya di bidang ekspor.

C. PENUTUP

Multikulturalisme hanya sekedar wacana titipan di negeri ini, kenapa harus belajaar pada refrensi asing tentang wacana Multikulturalisme bdhal bangsa ini, jika rujukunnya kenusanatra dan tradisi perbedaan yang sering dihadapi banagsa ini, kita tellah bnyak belajar dengan trasdisi kita dimasa lalu, hanya saja hari ini kita, kamu n u pade..kanyaknya lebih percaya sama semangat multikulturalisme yang ditawarkan oleh Eropa modern..yang lahir dari berbagai konflik yang lebih banyak terjadi akibat konsprirasi politik para penguasa dunia di tingkat global. jika itu terjadi bisa jadi Wacana multikulturalisme hari ini hanya sekedar titipan proyek bagi orang-orang tertentu untuk hadir sebagai pahlawan di negri ini.

Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007).Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat.Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat.Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.Namun,dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
http://puturistik.blogspot.com/2010/06/problematika-kebudayaan.html diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam 13.35 WIB
http://www.puspek.averroes.or.id/2008/09/24/multikulturalisme-dan-problem-kebudayaan-di-era-global/ diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam 13.59 WIB

http://requestartikel.com/contoh-perubahan-sosial-budaya-di-indonesia-201011225.html diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam 20.35 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam 21.15 WIB
Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

1 komentar: